Bandung: Detikperu.com- Indonesia memiliki banyak potensi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), mulai dari panas bumi, tenaga air, bioenergi, surya dan angin. Melimpahnya sumber energi bersih ini tentunya menjadi modal PT PLN (Persero) dalam memenuhi target Indonesia _net zero emission_ 2060.
Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, faktor perubahan iklim diproyeksikan akan berdampak pada peningkatan potensi bencana. Seperti cuaca ekstrem, banjir, kekeringan parah, kenaikan temperatur, kenaikan permukaan air laut, serta potensi kesulitan tumbuhnya tanaman pangan.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Agung Murdifi menyampaikan, berkaca pada laporan tersebut, dengan kebijakan _business as usual_ (BaU) sekarang ini, kenaikan suhu akan mencapai 3,1 derajat Celcius pada 2030. Sedangkan jika semua pihak konsisten untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, maka kenaika suhu tersebut dapat teredam pada level 1,5 derajat Celcius atau bahkan lebih rendah.
“Mau atau tidak, kita harus melakukan akselerasi dalam transisi dari PLTU Batubara ke energi yang ramah lingkungan seperti surya, angin, air, panas bumi, dan jenis energi baru terbarukan yang lain,” kata Agung.
PLN pun telah memiliki strategi transisi energi dalam tiga tahap. Pertama, pengembangan pembangkit PLN harus selalu mempertimbangkan keselarasan _supply and demand_, potensi ketersediaan sumber energi setempat, keekonomian, keandalan, serta ketahanan energi nasional dan _sustainability._
“Kita harus tetap menjaga keselarasan _supply and demand._ Jangan sampai kita kelebihan _supply_ yang nanti secara bisnis akan merugikan atau tidak baik,” kata Agung.
Strategi kedua yakni akselerasi pengembangan EBT pada daerah defisit, serta daerah yang menggunakan bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang sumber energinya menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Ini merupakan langkah strategis, baik dari sisi bisnis PLN maupun mengurangi belanja di sektor BBM,” jelasnya.
Berikutnya yang menjadi strategi ketiga, yakni pada sistem kelistrikan dengan cadangan daya besar yang perlu mempertimbangkan harmonisasi _supply and demand._ Peran serta dan dukungan pemerintah dan _stakeholder_ lainnya sangat penting dalam menumbuhkan iklim investasi yang baik, khususnya di bidang industri dalam rangka peningkatan _demand_ dan pertumbuhan ekonomi.
Di PLN sendiri, Agung menambahkan kapasitas terpasang pembangkit pada 2020 adalah 63,3 Giga Watt (GW). Sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030, akan ada penambahan pembangkit baru sebesar 40,6 GW selama 10 tahun dengan porsi EBT mencapai 20,9 GW atau 51,6 persen.
“Secara bertahap direncanakan pembangkit PLTU dilakukan _retirement_ dan penggantian PLTD/PLTMG/PLTG tua tersebar sehingga kapasitas pembangkit PLN pada 2030 menjadi 99,2 GW dengan porsi EBT bertambah,” terang Agung.
Di sisi lain, Direktur Utama PT Indonesia Power (IP) M. Ahsin Sidqi memaparkan, di Indonesia, banyak energi yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber penggerak pembangkit listrik. Maka dari itu, IP menyambut baik RUPTL 2021 – 2030 yang mendukung peningkatan pembangkit EBT secara masif.
“Selama pandemi Covid-19, kita tahu energi sangat mahal. Dan ternyata yang bisa menjadi pertahanan kita pembangkit EBT. Kita baru sadar pembangkit-pembangkit EBT yang kapasitasnya kecil, meski tersebar tidak tergantung dengan bahan bakar yang harganya berfluktuasi,” ujarnya.
Tak hanya membangun pembangkit saja, sesuai arahan dari PLN sebagai induk usaha, IP juga banyak berinovasi dalam pemanfaatan EBT di pembangkit lama. Salah satunya dengan mengadopsi program _co-firing_ dengan memanfaatkan gulma eceng gondok yang selama ini tidak dimanfaatkan. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pendangkalan pada waduk dan juga mendukung pelaksanaan _co-firing_ pada PLTU.
“Program _Biomass Operating System of Saguling_ (BOSS) tersebut merupakan program unggulan PT Indonesia Power dalam mewujudkan program “Saguling Clean”, yakni waduk Saguling yang bersih dari sampah dan gulma eceng gondok,” ucap Ahsin. (Humas)